Jumat, 13 Mei 2011

SELEMBAR UANG 5000an

Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”
* * *
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.
Uhuk!Uhuk!
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.
“Mas Yanto mau kemana?”
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.

Kamis, 05 Mei 2011

Lelaki dan Sekuntum Kamboja


Cerpen M. Arman AZ

Apakah yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboja, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa pula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tertentu seperti hari raya atau penguburan jenazah?

Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Termangu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingatku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah apa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu.

Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung. Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya.

Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaan unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku pun tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi nisan, sebelum tiba di makam itu.

Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kandang ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerja, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari balik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas makam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggeletarkan udara pagi.

Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembus sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari jendela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu.
***
Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kayu plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menadahi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas.

Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang menggunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujalani hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat.

Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kuburan seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kuburan? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal?

Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, kuli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur tetap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasilnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih keras lagi.

Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh mencariku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar duka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa ratusan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pinjam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, pernah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang-orang.

Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembus angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering melarang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupku belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu.

Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan untuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja membersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu.

Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keempat anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan sendiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih.
***
Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masjid tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kambuh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid dan kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan.

Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Aku berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun. Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hingga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus.

"Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah.
"Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan kuburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka selama ini ada yang memperhatikannya.

Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberang. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa napasnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas sudah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini.

"Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat sini saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku.

Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di gubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga.

Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelihatan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngobrol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya.

"Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-kemari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu membuang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah sering saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri."

Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami baru seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curiga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Aku harus waspada.

Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dijual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziarah untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lontang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, kini hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal halal.
***
Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu duduk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang dibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehadiran sepasang mahluk lemah itu.

Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat melewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemakaman. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya.

Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana dia makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak itu. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa susahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, mudah-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini.

Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. Di bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya.

Sabtu, 23 April 2011

SANG PRIMADONA

Sang Primadona

Cerpen A. Mustofa Bisri

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***

Rabu, 23 Maret 2011

SETELAH CINTA ITU PERGI

“Pagi yang cerah.” ucapku dalam hati sambil melangkahkan kaki ke depan rumah untuk memakai sepatu. Seperti biasa aku sudah siap berangkat ke sekolah dengan pakaian seragamku. Pagi itu aku juga udah sibuk smsan dengan pacarku seorang adik kelas satu tahun dibawahku, yah..biasa brondong. Dari pagi sampai pelajaran terakhir di sekolah selesai semua tampak biasa saja.

Aku mengaktifkan handphone dan tak lama kemudian muncul sms dari pacarku, isi smsnya adalah konfirmasi atas berakhirnya hubungan antara aku dan dia. Aku heran, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa salahku? hingga ku tanyakan padanya dan dia menjawab “Kakak tu uda selingkuh, aku bukan tak tau gimana sikap kakak di belakangku! kakak semalam jalan sama mantan kakak kan? aku tau semuanya.”

Dia tampak sangat marah, kesal dan sepertinya sangat benci kepadaku, semua terlihat dengan caranya melemparkan pertanyaan dan tuduhannya kepadaku. Aku kecewa sekali padanya karena dia telah menuduhku, akhirnya hubunganku dan dia berakhir sampai disini.

Semua anak-anak keluar dari kelas. “Capek aku heh! kita ke mana lagi? langsung pulang kan?” tanyaku pada sahabat karibku Dinda “Iya, Ma. Pulang ni aku jemput kau jam tiga, kita latihan drama.” “Latihan lagi? capek.” keluhku pada Dinda yang hanya tersenyum.

“Ada sms! loh kok dari Dinda?” tanyaku dalam hati “Aku tak bisa jemput, kita tak usah aja latihan ya? motor dipakai papa aku.” aku membaca sms Dinda dalam hati. Oh my god, gimana ni? mana aku udah siap, nunggu papa pulang dari kantor aja deh. “Sebentar lagi aku yang jemput kau, aku lagi nunggu papa datang.” sms Dinda itupun aku balas.

Tak lama kemudian papa datang dan aku pergi menjemput Dinda. Sesampainya aku dan Dinda di rumah Muti ternyata anak-anak drama yang lain belum ngumpul, terpaksa kami harus menunggu lagi. Satu per satu dari mereka mulai berdatangan sampai satu orang dari anggota kami tidak hadir. “Aku ngantuk, lagian lapar juga woi! badmood aku nah! kita tak jadi aja latihan ya?” ucap Dinda “Bagus tu, dari tadi kek bilang gitu.” sambung Doni yang benar-benar seperti tidak berniat untuk latihan drama sore ini. “Yes, alhamdulillah, wasyukurillah.” ucap yang lain.

Lagi-lagi ide gila Dinda itu disetujui teman-teman lain. Setelah semua pulang dari rumah Muti, kami bertiga pergi menjemput Irma untuk mengajaknya makan. Sesampainya di kafe langganan kami berempat, kami duduk dan bergosipan.

“Woi, keknya William mutuskan aku karena dia lagi dekat sama mantannya, dan aku tebak mantannya itu Putri anak 10.9.” ucapku memulai pembicaraan “Hah? dari mana kau tau kalau dia lagi dekat sama Putri?” sambung Irma “Semalam dia main kerumah aku dan cerita banyak tentang Putri tu” jelasku dengan nada sedih “Sabar ya, Ma! kan belum ada bukti yang kuat untuk menuduhkan itu sama mereka.” kata Irma menenangkan ku.

Pesanan pun tlah datang, kami menyantap makanan yang telah dihidangkan. Setelah selesai makan, kami berempat berniat untuk jalan-jalan, kami kelilingi kota dengan motor, sampai di depan kantor bupati tak sengaja ku lihat William sedang jalan dengan mantannya yang bernama Putri yang kami ceritakan waktu di kafe tadi. “Woi,William jalan sama Putri!” teriak ku “Kejari woi!” Dinda ikut histeris, Muti dan Irma pun ikut antusias dalam mengejari mereka, tapi sayangnya William dan Putri sudah pisah jalan.

“Udah aku bilang,mereka udah clbk lagi, aku sms William lah ya?” tanyaku pada Dinda “Sms lah, bilang dah clbk ni yee.” saran Dinda kepadaku. Aku smsan sama dia dan ternyata dia emang udah clbk sama Putri itu. “Sakit hati aku lihat orang tu heh! William ni nyakitin aku sedang-sedang kek ini tidak!” protes ku, Dinda hanya berdiam dan tak bisa menanggapi aku yang sedang terlarut dalam luapan emosi yang sebenarnya entah emosi atau karena rasa cemburu yang membara.
Setelah mengantarkan Dinda, aku sampai di rumah hampir jam tujuh. Malam itu aku di ceramahi habis-habisan oleh papa, ya ampun panas kali telinga aku dengar omelan papa yang kalau diurutkan pasti bisa sepanjang jalan kenangan. “Akhirnya omelan papa selesai.” ucapku dalam hati ketika papa mengehentikan ocehannya, kini aku sedang baring melepaskan semua beban ku di kasur.

Tak lama kemudian handphone ku bergetar menandakan ada sebuah sms masuk, segera ku raih handphone itu dan membaca sms yang masuk “Malam kak, lagi ngapa?” isi sms itu ternyata dari William “Iyo dek, lagi baring ni, kenapa dek?” ku balas sms itu dengan cepat dan singkat dan aku pun jadi smsan dengannya.

Dari smsnya aja aku udah bisa melihat perubahan yang terjadi padanya, dia menjadi sok kegantengan dan merasa dia telah menjadi pemenang atas kejadian tadi sore, dia terlihat angkuh dan tak seperti biasanya. Malam berlalu begitu saja, kini mataku pun sudah mulai mengantuk dan aku pun tertidur.

Pagi kembali hadir mengawali hariku. “Aku jomblo,haha.” tawaku pada diri sendiri ketika ku lihat diriku di cermin yang kelihatan kusut dan sangat putus asa.Pagi ini aku ke sekolah bersama Dinda, apa pun yang ku lakukan selalu bersamanya, karena sekarang aku sudah tidak punya pacar lagi jadi dia lebih sering menemaniku.

Waktu terasa berlalu begitu cepat, kini les bahasa Jepang telah usai, aku dan Dinda memutuskan untuk duduk di kantin. Ketika lewat di depan labor kimia, ternyata William ada di sana dan dia sedang praktek, aku melihatnya dengan sinis, rasanya ingin aku telan saja dia karena terlalu geramnya aku. “Kau smsan sama Randi ya, Ma?” tanya Dinda kepadaku yang dari tadi hanya memutar-mutar gelas “Hah? iya aku smsan sama dia, kenapa?” ucapku berbalik nanya pada Dinda

“Aku pulang sama Kai, kau minta jemput sama dia aja ya?” pinta Dinda kepadaku “Oh iyalah kalau gitu, aku telpon aja dia ya, soalnya dia lagi latihan buat nembuskan lagu Killing Me Inside - Torment untuk festival bulan depan.” ucapku lagi. Dinda hanya mengangguk. Aku mengambil CorbyTXTku dari dalam tas dan segera ku telpon Randi. “Lamanya Randi datang, bisa sampai bejamuran ni kita nungguin dia.” keluh Dinda “Sabar ngapa Din, dia lagi latihan paling bentar lagi dia datang.” ujarku lembut

“Iya, suruh dia cepetan dikit! capek ni aku dimarahin Kai disuruh cepat jemput dia.” lagi-lagi Dinda ngomel. “Ni barusan dia sms, katanya tunggu di depan bee!” hiburku “Nah, dari tadi kek, kan enak.” ketusnya. Tak lama kemudian Randi muncul di depanku.

Ketika aku mau mendekati Randi, tiba-tiba William muncul dan melihat aku sedang berjalan ke arah Randi, setelah aku naik di atas motor Fu merahnya Randi, aku memeluk Randi di depan William, dia hanya diam terpaku menatap aku dan Randi berlalu dengan cepat meninggalkan sekolah. Malam tiba, aku latihan band bersama Randi dan dia menjemputku di depan rumah.

“Aku pergi dulu ya, ma.” pamitku pada mama yang mengantarkanku sampai di depan pintu. Sesampainya di studio milik Roma, kami langsung latihan dan aku mencoba untuk berkolaborasi dengan Edo sang screamo di band kami. Latihan telah usai, malam serasa berlalu begitu saja dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 20.10 wib, aku dan Randi memutuskan untuk berkeliling kota.

“Dek” “Iya kak” “Adek mau jadi pacar kakak?” tanyanya padaku Aku diam sesaat. “Adek mau kak” jawabku pelan “Makasih ya dek, kakak janji takkan nyakiti adek” ucapnya padaku. Aku menerimanya karna aku sudah tau isi hatinya, dia telah menantiku selama 69 hari dan aku menerima cintanya karena ku tahu dia sangat tulus mencintaiku. Tak lama kemudian aku diantar pulang olehnya. Satu bulan telah berlalu, hari ini tepat hari valentine.

Aku dan Randi menuju kafe, di sana ia telah menyediakan kado valentine untukku, dia telah merancang kafe itu khusus untukku. “Ini untuk aku yang?” tanyaku karena terkesan melihat rancangan kafe itu yang terlihat sangat elegan.



“Iya sayang, ini semua karena kamu, aku sayang kamu yang.” ucapnya sambil mengecup keningku mesra. Kemudian ia memberiku Silver Queen Chunky Bar dan sebuah kotak kecil yang berisi sebuah boneka panda imut berwarna cokelat muda dan sebuah cincin mas putih berukuran pas di jari manisku.

“Makasih ya sayang, aku tak tau harus membalas apa? yang jelas aku sangat mencintaimu, jangan pernah berhenti mencintaiku sayang!” ucapku yakin padanya. “Akan ku lakukan apapun untukmu yang, aku mencintaimu bahkan sangat mencintaimu” ucapnya meyakinkan ku. Malam itu berlalu dengan penuh kesan untukku .

“Ya Allah, semoga Randi yang terakhir untukku dan semoga ia takkan menyakitiku. Makasih atas semua ini ya Allah. Kau membuat ku bahagia setelah aku kecewa dan berputus asa.” ucapku dalam hati.

Jumat, 18 Maret 2011

TERINDAH DAN TERSAKITI

Duduk terdiam, menulis satu cerita cinta yang penuh makna,
2 cerita indah yang teralami dalam selang waktu yang singkat. Perbedaan yang membuat semua cerita terungkap dengan 2 pilihan, indah atau hancur.
2 blan terjalani dengan beribu-ribu rasa sakit dan 2 blan terjalani dengan berjuta-juta senyum bahagia,.
2 blan terjalani dengan penuh rasa cinta dan 2 bulan terjalani dengan keraguan dan cinta itu tak ada.
Kau terindah saat itu, kau teristimewa saat itu, kau yang selalau jadi yang pertama saat itu, kau yang tercinta saat itu dan kau yang tersayang saat ini,.
Smuanya kau hancurkan dengan smua kelakuanmu, smua cerita indah itu terhempas dan terlewat.
Smua cerita yang awalnya indah berubah dengan duri dan air mata yang menghancurkan kalbu. Sekarang, saat smua itu harus terlewat, kenapa bayangan akan dirimu dan kenangan akan cerita indah itu trak dapat terhapus dari kalbu dan tak dapat hilang dari kalbu.
Tapi sekarang,. Diya yang terindah saat ini yang bisa mengerti akan semuanya, yang dapat merubah akan semua perasaan ini akanmu, yang akan jadi yang terbaik dan tersayang tuk gantiin kamu,.
Dan menggantikan kenangan indah yang sangat menyakitkan tentangmu yang akan dirubah dengan senyum bahagia akan semua kasihnya dan kelakuannya

Kamis, 17 Maret 2011

KEMUNAFIKAN

Merasakan saat amua orang munafik itu memperlihatkan kemunafikannya,. Para orang munafik berkeliling diantara semua yang terdiam dan melihatnya, tanpa mereka paham gimana perasaan orang yang ada disekelilingnya.,  Terasa begitu mustahil saat hal ini bener -bener  teralami,  disaat kemunafikan itu tertutup dengan kebaikan yang terpancar diantaranya, disaat tag ada setitik pikiran akan semua hal ini, dikala tag ada perasaan untuk  berprasangka, tag ada keinginan untuk melihat kemunafikan itu muncul dan tertunjukkan dikala terdiam dan melihuat dengan senyum yang berharap itu hanya mimpi. Tapi saat sekarang saat kemunafikan tertunjukkan dengan perbuatan dan perkataan yang mungkin tag terlupakan dan tag terbayangkan bagaimana cara untuk menghapusnya.
Saat yang tepat  Mencoba untuk diam dan tetap tersenyum kepadanya, mencoba  tuk tetap diam dan tetap mengucapkan yang terbaik, yang selalu jadi yang terbaik dan akan selau jadi yang terbaik sekarang dan selamanya.Saat dimana Tag ada rasa tuk berprasangka untuknya, tag ada ruang tuk menunjukkan sesuatu yang berbeda kepadanya,. Hanya ada secerca harapan dimana  kemunafikan itu tag akan sirna dan perubahan diantaranya yang akan menjadi smuanya berbalik seperti saat dimana senyum terbuka lebar dan kegembiraan yang penuh makna menghiasi.
                Indahnya kegembiraan yang tiada akhir tertoreh diselembar kertas putih yang berharap akan ada keajaiban tuk perubahan kala senyum riang itu muncul, saat indahnya dunia bersamanya terarungi bersama, saat canda tawa menghiasinya, melewati saat-saat sulit itu dengan kekuatan yang menegarkan, dan senyum itu yang membuat rasa ingin bangkit muncul, semangat baru yang akan selalu member  kehangatan kebersamaan yang tag didapatkan.
Harapan dimana saat torehan ini menjadi 1 motivasi untuk menjadikan mimpi indah itu akan menjadi kenyataan yang terindah dengan penuh canda tawa yang tag akan pernah memudar.

Kamis, 03 Maret 2011

SEPOTONG KUE UNTUK SAHABAT

   Akhh… aku benci namanya sahabat, Hidupku memang tak ada apa-apanya, aku memang dikenal kurang pandai bersosialisasi bukan karena aku sombong dan kurang suka bergaul, tapi aku sulit mencari orang yang pas dengan hatiku. Aku pernah trauma  atas namanya persahabatan. Dulu aku pernah dikhianati oleh namanya sahabat cuma karena seorang pria. Sejak kejadian itu aku lebih menghabiskan waktu ku dengan novel-novel. Memang aku rasakan hampa hidupku tak ada canda tawa, pergi bersama ke Mall seperti orang lain yang biasa menghabiskan waktu bersama sahabatnya tapi inilah aku sekarang tak mau kenal namanya persahabatan. Aku memang mempunyai teman di kampus tapi kami dekat hanya sebatas berlangsung mata kuliah dan berdiskusi saja, tapi saat mata kuliah selesai kami berpisah ke  alam masing-masing, ia kumpul bersama sahabat-sahabatnya dan aku kembali kepada dunia sepiku. Aku berusaha tetap bahagia, karena aku suka berfikiran tanpa sahabat hidupku nyaman karena tak ada namanya perselisihan, duit abis karena jalan-jalan atau membuat kejailan. Meskipun presepsi aku itu suka ditentang oleh ibuku yang suka koment atas pikiranku itu.Saat pulang kuliah biasanya aku menghabiskan waktu di toko buku tapi saat itu ada kejadian aneh, aku di ikuti seorang gadis kecil yang berpenampilan kumel dan tak menggunakan alas kaki. Aku berusaha tak menghiraukannya, saat aku masuk ke dalam toko buku, anak itu menatapku di balik jendela besar toko buku yang menghadap ke jalan. Tiba-tiba saat aku sedang membaca buku Love story karya Erich Segal, gadis itu sedang dibentak oleh satpam toko buku, sungguh baru itu kurasakan tak tega melihat gadis kecil itu.Aku pun pulang membawa buku-buku yang aku beli, saat aku menuju ke tempat makan karena titipan mama yang harus aku beli, aku bertemu gadis kecil itu lagi, saat ini aku dekati dia karena heran kenapa ia mengikuti aku terus. “kenapa kamu ikuti aku? Tanya ku dengan nada setengah menyelidiki dan menatap semua pakaian kumel yang melekat pada tubuhnya.“e..e.. maaf mbak, aku tak ada maksud apa-apa tapi aku suka dengan mbak, ucapnya setengah menunduk dan melirik wajah ku dengan muka takut“aneh kamu itu, aku baru kali ini lihat kamu, bilang saja kamu minta sumbangan dari aku, kamu mau berapa tapi jangan ikuti aku lagi. Bentak ku terhadap dia, “maaf mbak, ibu  ku tak mengajalkan aku minta-minta dalam keadaan lapal gimanapun, aku seling melihat mbak saat mbak ke toko buku wajah mba milip dengan seseolang”. Ucapnya dengan cedal dan menahan air mata.Tiba-tiba hatiku terenyuh dan merasa bersalah sudah bentak gadis ini, aku pun agak mengubah cara bicaraku menjadi sedikit lembut.Mirip siapa? Kamu salah orang kali. Aku mau beli makanan dan terburu-buru. Jawabku sambil bergegas ingin meninggalkan gadis kecil itu tanpa menghiraukan ekspresi gadis itu.Aku pun bergegas masuk dalam sebuah rumah makan, saat aku menengok ke arah kiri ku tatap wajah gadis itu dari kejauhan yang memandangiku, iba itu yang kurasa tapi aku tak mau ditipu pikirku. Saat aku pulang, gadis itu berlari mengejarku, “mbak, bolehkah aku kenal mbak? Aku cuman mau kenal dan belsahabat dengan mba. Ucap gadis itu dengan mimik yang polos dan buat iba. Aku terburu-buru aku tak mau kenal dengan namanya persahabtan. Kamu salah orang adik kecil, ucapku sedikit lembut           “aku ingin belsahabat mba, bukan uang. Mba mau kan kenal dan ketemu aku lagi? Ucap gadis kecil itu dengan nada berharap “ia ntar kalo ketemu, kita berbicara lagi tapi kini mba sedang terburu-buru. Jawabku sekenaanya agar terlepas dari anak kecil iniMba hati-hati ya, ucapnya sambil melambaikan tangan. Sungguh gadis kecil lugu itu menyedihkan sekali. Selalu saja ku terpikiran oleh gadis itu, 5 hari kemudian aku kembali lagi ke toko buku itu. Saat pulang sudah ku duga pasti gadis kecil itu menungguku, saat aku ingin mendekatinya tiba-tiba satpam toko buku itu mendekatiku dan bilang bahwa gadis itu aneh. Gadis itu mendekatiku, mbak akhilnya datang juga aku tunggu mbak. Aku ingin mengajak mbak ke suatu tempat lahasia. Tempat untuk kita beldua sebagai sahabat.Aku pun berusaha ikuti jalan pikiran anak ini, dan ku selalu menganggap permintaan sahabat dari dia hanya sekedar alasannya untuk meminta uangku. Aku pun ikuti langkah kecilnya yang tanpa alas menapaki tiap rute-rute yang ditempuh untuk ke tempat rahasia menurut dia. Sampailah kami disebuah rumah kardus, ternyata gadis ini hidup sendiri, sungguh terkejut aku gadis baru umur 5 atau 6 tahun sudah biasa hidup seperti ini. Mbak maaf aku sudah mengajak mbak ke tempat kumuh ini, tapi ini istanaku. Ucapnya dengan rona bahagia di wajahnya. Sungguh aku tak bisa pungkiri rasa iba ku terhadap gadis kecil yang membuat ku bingung. Mba kenapa sih gak mao belsahabat? Aku malah kepengen punya sahabat. Pertanyaan nya yang membuatku tersegap rasa kaget dan flashback akan kenangan bersama sahabat yang tlah mengkhianatiku. Mba benci dengan namanya persahabatan, mana orang tua mu? Apa kamu tinggal sendiri? Jawabku sekenaanya dan menimpali pertnyaan agar ia tak membahas persahabatan. Gadis kecil yang kutatap ini mulai mengeluarkan butir-butir air mata, ia mengatakan hidupnya hanya sebatang kara. Ia tak mengenal ayahnya dan ibunya telah meninggal karena suatu hal. Betapa terkejut aku mendengar cerita nya.Aku dan gadis kecil itu sering bertemu akhirnya, tapi aku tetap tak menganggap nya sahabat  meskipun dia menganggap seperti itu, aku kenal semua aktifitasnya. Ia bekerja sebagai pengamen jalanan dengan bermodalkan tutup minuman coca cola. Suatu hari ia bercerita tentang kehidupannya dulu dan tanggal lahirnya. Sungguh ceritanya mengingatkan ku terhadap seorang yang telah mengkhianatiku dulu. Tanggal lahirnya sama dengan mantan sahabatku dulu tanggal 23 desember, dulu biasanya kami selalu merayakan tapi itu benar-benar dulu sebelum ia mengkhianati ku dengan lelaki yang ku cintai. Nama gadis itu sama dengan sahabatku dulu. Sungguh aku tak habis pikir apa mungkin di dunia ini mempunyai kesamaan yang hampir sama seperti itu? Tanggal 23 desember bentar lagi dan mulai itu aku berusaha memberikan perhatian terhadap gadis kecil itu. Aku berusaha akan memberikan hadiah. Saat kau ulang tahun apa yang kau inginkan? Tanyaku. Aku hanya ingin ke tempat ibuku mbak, aku benar-benar kangen dengan nya. Dan aku juga ingin sepotong kue kecil yang disuapkan oleh sahabat ibuku sebagai permintaan ibu dulu mbak. Sungguh ucapan itu membuat hatiku bergedik menahan butir-butir air mata agar tak tertumpah. Aku bingung harus membantunya mencari sahabat ibunya sebagai kado ulang tahunnya.Tanggal 22 aku mulai  membuat kue ulang  tahun untuk sahabat kecilku, sungguh baru itu hatiku terbuka berfikir ternyata mempunyai sahabat dan bersosialisasi sesama itu indah. Aku pun membuat kue itu dengan rasa senang sebagai sahabat serta seperti rasa kakak dan adik.Tanggal 23 itu hari yang ku tunggu, hari yang mempunyai moment juga untuk ku bersama sahabatku dulu. Saat aku menapaki jalan ke istana sahabat kecilku tiba-tiba ku lihat rumah itu sudah dipenuhi orang, sahabat kecilku sudah terbujur kaku. Derai air mata ku tumpah, aku tak tau harus bagaimana. Kue yang ku persiapkan dengan rasa terima kasih karena ia telah mengubah presepsi buruk ku tentang sahabat menjadi pupus semua kini.Sahabat kecilku telah pergi selamanya, ia sakit. Ternyata selama ini ia mempunyai penyakit. Sungguh aku tak mengira itu.  Tiba-tiba ada seorang ibu memberikan aku sebuah surat. Setelah pulang dari pemakaman, aku pun langsung membuka  amplop itu sungguh betapa terkejut aku, isinya photo aku bersama sahabat ku dulu yang telah mengkhianati ku. “mbak, aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku atas penerimaan mbak menjadi sahabatku. Ku lakukan itu demi ibuku, sebelum ibu kembali ke rumah Allah ia memberikan photo mbak bersama ibu dan ibu bercerita semua tentang mbak dan tempat biasa mbak kunjungi maka itu aku dekati mbak di toko buku langganan mba, ayah ku adalah cowok yang menyebabkan persahabatan ibu dan mbak hancur kini ia pergi bersama orang lain dan ibu diusir kakek dan nenek ku saat mengandungku, itu yang ibu ceritakan dan ibu sampaikan semua, agar aku meminta maaf atas nama ibu, ibu sangat menyayangi mba dan membanggakan mba. Terakhir sebelum ibu pulang ke rumah Allah, ibu ingin sepotong kue dari sahabatnya. Kini rasa kangenku terhadap ibupun sebentar lagi terbayar mbak, doakan aku dan ibu bahagia. Ku percaya mba akan membawa sepotong kue itu untuk kami saat tanggal 23 desember. Itu isi surat terakhir si gadis kecil dengan tulisan yang masih acak-acakan seperti anak SD tapi aku terharu dan akan menyimpan surat ini selamanya.Sungguh aku tak menguasai emosiku, tangisanku pecah dan aku menyesal sudah seperti itu terhadap Nisa dan anaknya si gadis kecil sahabatku.  Aku pun membuka hatiku untuk bersahabat karena aku percaya sekarang bahwasan nya sahabat itu tak ada yang jahat. Setiap tanggal 23 selalu ku rayakan ultah sahabat tercintaku dan anaknya si gadis kecil, meskipun kini aku tak dapat memberikan mereka sepotong kue yang inginku suapkan tapi ku akan memberikan sebuah doa kepada mereka agar tenang.Semua hal yang terjadi ini membuat dewasa dan akupun mengubah presepsi tentang sahabat. Aku sangat menyayangi mereka.